AL QURAN
A.
Pengertian Al Quran
Kata Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yaitu قَرَأَ
– يَقْرَأُ – قُرْأَناً yang berarti bacaan. Makna al-Qur’an secara istilah
adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. membacanya
merupakan ibadah, susunan kata dan isinya merupakan mu’jizat, termaktub di
dalam mushaf dan dinukil secara mutawatir.
Menurut bahasa,
kata Al-Qur’an adalah bentuk masdar yang berasal dari kata qoro’a yang memiliki
makna sinonim dengan kata qiro’ah, yaitu bacaan.
Menurut istilah,
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam
bahadsa arab, riwayatnya mutawattir. Oleh karena itu terjemahan Al-Qur’an tidak
disebut sebagai Al-Qur’an.
Para ahli ilmu
kalam berpendapat bahwa Al-Qur’an itu adalah lafal yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad mulai dari awal surah Al-Fatihah sampai surah An-Nas, yang mempunyai
keistimewaan-keistimewaan yang terlepas dari sifat-sifat kebendaan.
Dr. A. Yusuf
Al-Qosim memberukan definisi Al-Qur’an dengan menyebutkan identitasnya :
“Al-Qur’an ialah kalam mu’jiz yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang tertulis dalam mushaf yang
diriwayatkan dengan mutawattir, dan membacanya adalah ibadah.” Al-qur’an merupakan sendi fundamental dan
rujukan pertama bagi semua dalil dan hukum syari’at.
Dari beberapa
pengertian Al-Qur’an diatas maka dapat diketahui bahwa Al-Qur’an memiliki
keistimewaan-keistimewaan yaitu :
1. Lafadz
dan maknanya datang dari allah swt, dan diwahyukan kepada Rosululloh Saw
melalui perantaraan malaikat jibril. Nabi tidak merubah kalimat maupun
pengertian (makna)nya, dan hanya menyampaikan apa yang beliau terima. Oleh
karena itu, tidak boleh meriwayatkan Al-Qur’an dengan makna, inilah yang
membedakan Al-Qur’an dengan Hadits Qudsy. Karena Hadits Qudsy merupakan
perkataan Nabi yang maknanya merupakan wahyu dari Allah SWT.
2. Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab,
sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya : “Sesungguhnya Kami
menjadikan Al-Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).”
Berdasarkan hal tersebut, maka
terjemahan Al-Qur’an kedalam bahasa lain tidak disebut sebagai Al-Qur’an dan
karenanya maka tidak sah sholat menggunakan terjemahan Al-Qur’an.
3. Al-Qur’an
disampaikan/ diterima melalui jalan mutawattir, sehinnga menimbulkan keyakinan
dan kepastian akan kebenaranya. Dia dihafal dalam hati, dibukukan dalam mushaf
dan disebar luaskan keseluruh negeri.
Allah menjamin terpeliharanya Al-Qur'an
dengan firman-Nya.
Artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran,
dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”
C. Kehujjahan
Al-Qur’an
Semua ayat-ayat dalam Al-Qur’an
merupakan hujjah yang dapat diterima secara yakin. Alasan bahwa Al-Qur’an
adalah hujjah bagi ummat manusia, dan hukum-hukumnya merupakan undang-undang
yang harus ditaati ialah : bahwa Al-Qur’an itu diturankan dari sisi Allah SWT,
dan di sampaikan kepada umat manusia dengan jalan yang pasti, dan tidak
terdapat keraguan mengenai kebenarannya. Segala hukum
yang bersumber dari Al-Qur’an merupakan hukum yang pasti dan tidak terdapat
keraguan didalammya.
C. Kedudukan
Al-Qur’an
Al-Qur’an
merupakan sumber hukum pertama bagi ummat islam. Al-Qur’an merupakan sendi
fundamental dan rujukan pertama bagi semua dalil dan hukum syari’at. Beberapa ulama
bahkan mengatakan bahwa Al-Qur'an merupakan satu-satunya sumber hukum Islam,
sedangkan semua sumber yang lain hanyalah bersifat menjelaskan Al-Qur’an.
Terdapat sejumah ayat didalam Al-Qur’an
yang menetapkan sumber-sumber syari’ah dan urutan prioritas sumber-sumber hukum
tersebut. Salah satunya terdapat dalam surah An-Nisa’ ayat 59 :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian
jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.”
Mentaati Allah dalam ayat ini menunjuk
kepada Al-Qur’an, dan mentaati Rasul menunjuk kepada Hadits. Ketaatan kepada
Ulul Amri menjadi rujukan bagi Ijma’, dan dagian terakhir dari ayat yang
mengharuskan dikembalikannya segala perselisihan kepada Allah dan Rasulnya
menunjukkan keabsahan Qiyas ketika tidak terdapat nash Al-Qur'an dan Hadits
ataupun Ijma’.
Terdapat tiga macam hukum
yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur'an, yaitu :
Pertama,
hukum-hukum yang berkaitan dengan Akidah (keimanan), yang bersangkutan dengan
hal-hal yang harus dipercayai (diimani) oleh setiap muslim, mengenai Zat-Nya,
para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Para Rosul-Nya, segala ketetapan dan
ketentuan-Nya, serta hari kemudian.
Kedua, hukum-hukum Allah yang
bersangkutan dengan hal-hal yang harus dimiliki oleh setiap muslim atau hal-hal
yang harus dijadikan perhiasan oleh setiap mukallaf (Akhlaqul Karimah), berupa
hal-hal keutamaan dan menghindarkan diri dari hal kehinaan.
Ketiga,
hukum-hukum amaliyah yang bersangkutan dengan tindakan setiap mukallaf, yang
meliputi masalah perkataan, perbuatan, akad dan pembelanjaan (pengelolaan harta
benda). Macam yang ketiga ini merupakan Fiqhul Qur’an.
Hukum amaliyah dalam
Al-Qur'an terdiri dari dua cabang hukum, yaitu :
1.
Hukum-hukum Ibadah, seperti sholat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah dan
ibadah-ibadah lainnya yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhannya.
2. Hukum-hukum
Muamalah, seperti : akad, pembelanjaan, hukuman, pidana, hutang-piutang dan
lain-lain yang tidak berkaitan dengan ibadah vertikal. Hukum Muamalah mengatur
hubungan antara manusia dengan sesamanya baik perseorangan ataupun kelompok.
AL-HADITS/
AS-SUNNAH
A. Pengertian
Secara
lughowiyah hadits berarti baru, hadits juga dapat diartikan “sesuatu yang
dibicarakan dan dinukil.”
Menurut istilah
ahli hadits yang dimaksud dengan As-Sunnah adalah segala yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW, baik yang berupa perkataan, perbuatan, dan pengakuan/
ketetapan Rasulullah SAW, yang berposisi sebagai petunjuk dan tasyri’.
Sedangkan
menurut istilah ahli ushul fiqh hadits adalah perkataan, perbuatan dan
penetapan yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw setelah kenabiannya. Adapun
perkataan, perbuatan dan penetapan beliau sebelum kenabiannya tidak dianggap
sebagai hadits.
B. Kehujjhan Hadits
Para ulama
bersepakat bahwa sunnah merupakan sumber syari’ah yang ketentuan-ketentuannya
sejajar dengan Al-Qur'an. Hal ini jika hadits tersebut
merupakan hadits yang mutawattir (shohih). Hukum islam merupakan apa yang
terkandung dalam Al-Qur'an menurut penjelasan rosul melalui sunnahnya
Bukti
tentang kehujjahan hadits sebagai sumber hukum didasarkan kepada beberapa ayat
Al-Qur'an, diantaranya :
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu
berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".
C. Kedudukan
Hadits
Kedudukan hadits menurut urutan
prioritas sumber-sumber hukum syari’ah berada pada posisi kedua setelah
Al-Qur'an. Seorang mujtahid tidak akan kembali kepada hadits ketika membahas
suatu kejadian, kecuali jika hal tersebut tidak terdapat dalam Al-Qur'an.
Abdullah bin Mas’ud Ra. mengatakan
bahwa : siapa diantara kalian yang diminta keputusannya, maka hendaklah ia
memutuskan menurut Kitabullah. Jika masalah yang dihadapi tersebut tidak
terdapat sdalah Kitabullah, maka hendaklah ia memutuskan menurut keputusan yang
diambil oleh Rosululloh Saw.
1.
Adakalanya hadits mengukuhkan hukum yang telah ada pada Al-Qur'an. Sehingga
permasalahan tersebut memiliki dua dasar hukum yang dapat dijadikan hujjah.
Seperti : perintah mendirikan sholat, puasa, zakat, haji, juga larangan
menyekutukan allah, membunuh dan lain-lain.
2.
Adakalanya hadits memperinci dan menjelaskan hal-hal yang telah ada pada
Al-Qur'an, atau mentakhshish hal hal yang terdapat dalam Al-Qur'an. Seperti
hadits fi’liyah tentang cara mendirikan sholat, manasik haji dan sebagainya.
3.
Adakalanya hadits membentuk / menetapkan hukum baru yang tidak terdapat dalam
Al-Qur'an. Misalnya, hadits tentang keharaman binatang buas yang bertaring dan
burung yang bercakar tajam, juga keharaman memakai kain sutera bagi
laki-laki, dan sebagainya.
Dari pengertaian
sunnah yang telah dikemukakan diatas, maka sunnah dapat dibagi kedalam tiga
macam, yaitu ;
1.
Sunnah Qouliyah, yaitu sunnah yang berupa perkataan-perkataan beliau tentang
suatu permasalahan yang berkaitan dengan hukum Syari’at.
2.
Sunnah Fi’liyah, yaitu sunnah yang berupa amaliyah yang dikerjakan oleh Nabi
Muhammad SAW, seperti cara beliau melaukan sholat, puasa, wudhu, dan lain-lain.
3.
Sunnah Taqririyah, yaitu pengakuan/ pembenaran Nabi SAW terhadap perkataan atau
perbuatan yang bersumber dari sahabatnya, baik pembenaran itu dengan diamnya
atau tidak diingkarinya maupun dengan menyatakan persetujuannya. Baik perkataan
atau perbuatan sahabatnya itu dilakukan didepannya ataupun dibelakangnya.
Pembenaran terhadap perkataan atau perbuatan sahabat ini dipandang sebagai
hadits juga karena jika perbuatan atau perkataan sahabat itu munkar tentu
beliau melarangnya.
SAKIT
A.
Pengertian Sakit
Sakit adalah keadaan dimana
fisik, emosional, intelektual, social, perkembangan atau seseorang berkurang
atau terganggu bukan hanya keadaan terjadinya proses penyakit. Oleh karena itu
sakit tidak sama dengan penyakit. Sebagai contoh klien dengan leukemia yang
sedang menjalani pengobatan mungkin akan mampu berfungsi seperti biasanya,
sedangkan klien lain dengan kanker payudara yang sedang mempersiapkan diri
untuk menjalani operasi mungkin akan merasakan akibatnya pada dimensi fisik,
selain dimensi fisik. Perilaku sakit merupakan perilaku orang sakit yang
meliputi: cara seseorang memantau tubuhnya; mendefinisikan dan
menginterpretasikan gejala yang dialami; melakukan upaya penyembuhan; dan penggunaaan pelayanan system kesehatan.
B.
Ciri-ciri Sakit
1. Individu percaya bahwa ada kelainan dalam tubuh; merasa dirinya tidak
sehat/ merasa timbulnya berbagai gejala merasa adanya bahaya.
Mempunyai 3 aspek:
·
Secara fisik :
nyeri, panas tinggi.
·
Kognitif :
interpretasi terhadap gejala.
·
Respon emosi
terhadap ketakutan/ kecemasan.
2. Asumsi terhadap peran sakit (sick rok). Penerimaan terhadap sakit.
C. Konsep Sehat dan Sakit Menurut Islam
Sakit
dan penyakit merupakan suatu peristiwa yang selalu menyertai hidup manusia
sejak jaman Nabi Adam. Kita memahami apapun yang menimpa manusia adalah takdir,
sakit pun merupakan takdir. Lantas kalau sakit merupakan takdir, kalau kita
sakit kenapa harus mencari sehat /kesembuhan? Lantas bua apa dan apa manfaat
berobat? Dari sinilah landasan kita berpijak dalam memahami sehat, sakit, obat
dan upaya pengobatan.
Di hadapan Allah, orang sakit bukanlah orang yang hina. Mereka justru memiliki kedudukan yang sangat mulia. “Tidak ada yang yang menimpa seorang muslim kepenatan, sakit yang berkesinambungan (kronis), kebimbangan, kesedihan, penderitaan, kesusahan, sampai pun duri yang ia tertusuk karenanya, kecuali dengan itu Allah menghapus dosanya.:
(Hadist diriwayatkan oleh Al-Bukhari)
Di hadapan Allah, orang sakit bukanlah orang yang hina. Mereka justru memiliki kedudukan yang sangat mulia. “Tidak ada yang yang menimpa seorang muslim kepenatan, sakit yang berkesinambungan (kronis), kebimbangan, kesedihan, penderitaan, kesusahan, sampai pun duri yang ia tertusuk karenanya, kecuali dengan itu Allah menghapus dosanya.:
(Hadist diriwayatkan oleh Al-Bukhari)
Bahkan
Allah menjanjikan apabila orang yang sakit apabila ia bersabar dan berikhtirar
dalam sakitnya, selain Allah menghapus dosa-dosanya.
“Tidaklah
seorang muslim tertimpa derita dari penyakit atau perkara lain kecuali Allah
hapuskan dengannya (dari sakit tersebut) kejelekan-kejelekannya (dosa-dosanya)
sebagaimana pohon menggugurkan daunnya.”(Diriwayatkan oleh Imam Muslim)
“Jika kamu menjenguk orang sakit,
mintalah kepadanya agar berdoa kepada Allah untukmu, karena doa orang yang
sakit seperti doa para malaikat.”
(HR. Asy-Suyuti)
(HR. Asy-Suyuti)
D. Sakit Pandangan Alquran
Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua Penyayang”. Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah. (Al Quran Surah Al Anbiyaa’ [21]:83-84)
الرَّاحِمِينَ
أَرْحَمُ وَأَنْتَ الضُّرُّ مَسَّنِيَ أَنِّي
رَبَّهُ نَادَى إِذْ وَأَيُّوبَ
مِنْ
رَحْمَةً مَعَهُمْ وَمِثْلَهُمْ أَهْلَهُ وَآتَيْنَاهُ ضُرٍّ مِنْ بِهِ مَا فَاسْتَجَبْنَا
لَهُ فَكَشَفْنَا لِلْعَابِدِينَ وَذِكْرَى عِنْدِنَا
Artinya:
dan
(ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: "(Ya Tuhanku),
sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha
Penyayang di antara semua penyayang".
Maka Kami pun
memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan
Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka,
sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua
yang menyembah Allah.
Ayat diatas
mengisahkan Nabi Ayub yang ditimpa penyakit, kehilangan harta dan anak-anaknya.
Dari seluruh tubuhnya hanya hati dan lidahnya yang tidak tertimpa penyakit,
karena dua organ inilah yang dibiarkan Allah tetap baik dan digunakan oleh Nabi
Ayub untuk berzikir dan memohon keridhoan Allah, dan Allah pun mengabulkan
doanya, hingga akhirnya Nabi Ayub sembuh dan dikembalikan harta dan
keluarganya.
Dari sini
dapat diambil pelajaran agar manusia tidak berprasangka buruk kepada Allah,
tidak berputus asa akan rahmat Allah serta bersabar dalam menerima takdir
Allah. Karena kita sebagai manusia perlu meyakini bahwa apabila Allah
mentakdirkan sakit maka kita akan sakit, begitu pula apabila Allah mentakdirkan
kesembuhan, tiada daya upaya kecuali dengan izin-Nya kita sembuh.
(Yaitu Tuhan)
yang telah menciptakan Aku, Maka Dialah yang menunjuki Aku. Dan Tuhanku, yang
Dia memberi Makan dan minum kepadaKu. Dan apabila aku sakit, Dialah yang
menyembuhkan Aku. Dan yang akan mematikan Aku, kemudian akan menghidupkan aku
(kembali). Dan yang Amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari
kiamat”. (Al Quran surah Asy Syu’araa’ [26]: 78 – 82)
وَيَسْقِينِ وَالَّذِي هُوَ
يُطْعِمُنِي الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ
وَالَّذِي يُمِيتُنِي ثُمَّ يُحْيِينِ وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ
يَشْفِينِ
وَالَّذِي أَطْمَعُ أَنْ يَغْفِرَ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ
Artinya :
(yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang
menunjuki aku, dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan
apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku,
kemudian akan menghidupkan aku (kembali), dan Yang amat kuinginkan akan
mengampuni kesalahanku pada hari kiamat".
E. Sakit Pandangan Hadis
Di
hadapan Allah, orang sakit bukanlah orang yang hina. Mereka
justru memiliki kedudukan yang sangat mulia. “Tidak ada yang yang menimpa
seorang muslim kepenatan, sakit yang berkesinambungan (kronis), kebimbangan,
kesedihan, penderitaan, kesusahan, sampai pun duri yang ia tertusuk karenanya,
kecuali dengan itu Allah menghapus dosanya.:
(Hadist diriwayatkan oleh Al-Bukhari)
(Hadist diriwayatkan oleh Al-Bukhari)
Bahkan Allah menjanjikan apabila orang yang
sakit apabila ia bersabar dan berikhtirar dalam sakitnya, selain Allah
menghapus dosa-dosanya.
“Tidaklah
seorang muslim tertimpa derita dari penyakit atau perkara lain kecuali Allah
hapuskan dengannya (dari sakit tersebut) kejelekan-kejelekannya (dosa-dosanya)
sebagaimana pohon menggugurkan daunnya.”(Diriwayatkan oleh Imam Muslim)
“Jika kamu menjenguk orang sakit,
mintalah kepadanya agar berdoa kepada Allah untukmu, karena doa orang yang
sakit seperti doa para malaikat.”
(HR. Asy-Suyuti)
(HR. Asy-Suyuti)
REFERENSI
Ikhsan muhammad. 2008. Konsep Sehat dan Sakit Menurut Islam. http://forum.abatasa.com.
Last update 05 maret 2012 pukul 10.17
Amiq saiful. 2008. Al quran dan Hadis. http://saifoel.multiply.com.
Last update 05 maret 2012 pukul 16.09
Anonim. 2012. Konsep sehat sakit menurut WHO. http://www.scribd.com.
Last update 05 maret 2012 pukul 11.20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar