A. Pengertian
Thaharah
Secara bahasa, thaharah berarti bersih dari kotoran, baik secara fisik
seperti bersih dari air kencing, maupun secara maknawi seperti bersih dari
maksiat.
Sedangkan secara syar’i, thaharah berarti ‘bersih dari najis, baik secara
hakikat yaitu dari khabats (sesuatu yang dianggap kotor dan jijik
menurut syara’), maupun secara hukum yaitu dari hadats (sesuatu yang
menurut syara’ jika terdapat pada seseorang, ia akan kehilangan kesucian)’.
Definisi ini diambil dari kalangan Hanafiyah.
An-Nawawi (dari kalangan Syafi’iyah) mendefinisikan thaharah dengan
‘mengangkat hadats dan menghilangkan najis, atau yang semakna dan memiliki
sifat yang sama dengannya’. Definisi ini mencakup tayammum, mandi sunnah,
memperbarui wudhu, pembasuhan yang kedua dan ketiga pada hadats dan najis,
mengusap telinga, berkumur dan beberapa nafilah lainnya dalam
thaharah, termasuk juga bersuci bagi wanita yang keluar darah penyakit dan
orang yang tidak dapat menahan kencing.
Kalangan Malikiyah dan Hanabilah mendefinisikan thaharah dengan
‘menghilangkan sesuatu yang menyebabkan terhalangnya shalat, yaitu hadats dan
najis dengan air, atau menghilangkan hukumnya dengan tanah’.
Dari definisi thaharah di atas, bisa dipahami bahwa thaharah terbagi
menjadi dua macam, yaitu bersuci dari hadats (khusus badan) dan
bersuci dari khabats (badan, pakaian dan tempat). Bersuci dari hadats
terbagi tiga, yaitu (1) hadats besar, dengan mandi, (2) hadats kecil, dengan
wudhu, (3) pengganti keduanya jika sangat sulit untuk mandi dan berwudhu, yaitu
dengan tayammum. Bersuci dari khabats juga terbagi tiga, yaitu dengan
membasuh (ghusl), mengusap (mas-h) dan memercikkan air (nadh-h).
Jadi, thaharah mencakup wudhu, mandi, menghilangkan najis, tayammum dan
yang berhubungan dengannya.
B. Urgensi
Thaharah
Thaharah atau bersuci menduduki masalah
penting dalam syari`ah Islam. Boleh dikatakan bahwa tanpa adanya thaharah,
ibadah kita kepada Allah SWT tidak akan diterima. Sebab beberapa ibadah utama
mensyaratkan thaharah secara mutlak. Tanpa thaharah, ibadah tidak sah. Bila
ibadah tidak sah, maka tidak akan diterima Allah. Kalau tidak diterima Allah,
maka konsekuensinya adalah kesia-siaan.
Thaharah sangat penting dalam Islam, baik thaharah secara hakikat yaitu
mensucikan pakaian, badan dan tempat shalat dari najis, maupun secara hukum
yaitu mensucikan anggota badan dari hadats, dan mensucikan seluruh tubuh dari
janabah. Hal ini karena ia merupakan syarat untuk sahnya shalat yang dilakukan
lima kali sehari, dan shalat adalah berdiri menghadap Allah ta’ala,
melakukannya dalam keadaan suci merupakan sikap ta’zhim (pengagungan)
kepada Allah.
Islam juga sangat menyukai
kebersihan dan kesucian. Allah ta’ala memuji orang-orang yang bersuci:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ
التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
Artinya: “Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri.”
[al-Baqarah ayat 222]
Hampir
dalam setiap kitab fiqh, para fuqaha selalu menyimpan pembahasan thaharah
sebagai sesuatu yang dibahas di awal BAB. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya
kebersihan atau kesucian dalam Islam. Selain dapat menjaga ummatnya dari
berbagai penyakit, thaharah dalam Islam juga berperan sebagai syarat dari
sahnya sebuah peribadahan. Seseorang tidak dapat beribadah saat ia memiliki
hadats. Ia pun tidak dapat beribadah saat pakaian atau tempat yang akan
dilaksanakannya peribadahan terkena najis. Karena urgensinya dalam menegakkan
tiang-tiang diin ini, Rasulullah saw. bersabda tentang thaharah, “Ath-Thahuur
(suci) itu sebagian daripada Iman.” Dalam al-Quran, Allah swt. menegaskan
betapa pentingnya thaharah dalam Islam. Allah swt. berfirman.
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah,
2: 222)
“Dan pakaianmu bersihkanlah.” (QS.
Al-Muddatstsir, 74: 4)
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams, 91: 9-10)
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams, 91: 9-10)
Allah juga berfirman tentang kewajiban
berwudhu untuk membersihkan hadats kecil serta mandi untuk membersihkan hadats
besar. “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka
bersucilah.” (QS. Al-Maa’idah, 5: 6)
Artinya, tidak akan diterima setiap
ibadah yang kita lakukan jika tidak dilakukan dalam kondisi badan yang suci dan
bersih. Begitulah Islam mengajarkan sebuah sikap yang sangat menjaga kebersihan
dan kesucian. Rasulullah, dalam sabdanya yang lain memberikan gambaran bahwa
Allah swt. hanya menyukai yang baik-baik. “Sesungguhnya Allah itu thayyib dan
tidak menerima sesuatu kecuali yang thayyib.” Sebagaimana sabdanya juga
“Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan.”
Kebersihan dan kesucian adalah hal yang
thayyib yang akan menjadi syarat diterimanya segala sesuatu. Maka dari itu,
tidak ada alasan bagi setiap mu’min untuk tidak menjaga kebersihan dan kesucian
diri dan lingkungannya. Jika seorang mu’min tidak peduli terhadap kondisi
lingkungannya, maka tentulah imannya belum sempurna sebagaimana seorang yang
sedang shalat yang kemudian melupakan salah satu dari rukun shalat. Sudah tentu
shalatnya tidak diterima. Jangan sampai, keimanan kita tidak diterima oleh
Allah swt. dikarenakan kita lalai dalam menjaga kebersihan dan kesucian, baik
diri maupun lingkungan kita.
C.
Syarat Wajib Thaharah
Diwajibkan membersihkan badan,
pakaian, dan tempat jika terkena najis, berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
Artinya: “Dan pakaianmu bersihkanlah.”
[al-Muddatstsir ayat 4]
أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ
لِلطَّائِفِيْنَ وَالْعَاكِفِيْنَ وَالرُّكَّعِ السُّجُوْدِ
Artinya: “Bersihkanlah (wahai
Ibrahim dan Isma’il) rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, i’tikaf, yang
ruku’ dan yang sujud.” [al-Baqarah ayat 125]
Jika membersihkan pakaian dan
tempat diwajibkan, maka membersihkan badan tentu lebih utama.
Diwajibkan thaharah bagi orang
yang diwajibkan shalat, dan itu ada 10 syarat, yaitu:
1. Islam
Ada juga yang mengatakan ‘sampainya dakwah’. Dalam hal ini, ada yang
berpendapat orang kafir tidak diwajibkan, ada juga yang berpendapat tetap
diwajibkan. Perbedaan pendapat ini lahir dari perbedaan pendapat yang lebih
mendasar, yaitu tentang ‘diserunya orang-orang kafir untuk melaksanakan
cabang-cabang syari’ah’.
Menurut
pendapat mayoritas fuqaha, orang-orang kafir diseru untuk melaksanakan
cabang-cabang ibadah, jadi mereka di akhirat akan dihukum dengan dua hukuman,
yaitu hukuman karena tidak beriman dan hukuman karena meninggalkan
cabang-cabang perintah agama. Sedangkan menurut Hanafiyah, orang-orang kafir
tidak diseru untuk melaksanakan cabang-cabang syari’ah. Di akhirat, orang-orang
kafir hanya akan dihukum karena tidak beriman, tidak karena meninggalkan
cabang-cabang syari’ah.
Meskipun
begitu, dua kelompok ini (mayoritas fuqaha dan Hanafiyah) sepakat bahwa
pelaksanaan ibadah yang dilakukan orang kafir tidak sah selama mereka masih
dalam kekafiran. Dan jika mereka masuk Islam, mereka tidak dituntut untuk meng-qadha’.
Dan orang kafir tidak sah shalatnya menurut ijma’ (kesepakatan ulama).
Jika orang
murtad kembali masuk Islam, menurut mayoritas fuqaha, ia tidak dituntut untuk
meng-qadha’ shalat yang ditinggalkannya selama murtad. Sedangkan
menurut Syafi’iyah, ia dituntut untuk meng-qadha’-nya.
2. Berakal
Tidak wajib thaharah bagi orang gila dan orang pingsan, kecuali mereka
kembali sadar saat tiba waktu shalat. Sedangkan orang mabuk tidak gugur
kewajiban thaharahnya.
3. Baligh
Tandanya ada 5,
yaitu: (a) mimpi basah, (b) tumbuh rambut kemaluan, (c) haidh, (d) hamil, dan
(e) mencapai usia baligh, yaitu 15 tahun, ada juga yang berpendapat 17 tahun,
Abu Hanifah mengatakan 18 tahun. Tidak wajib thaharah bagi anak kecil, namun ia
tetap diperintahkan untuk melakukannya pada usia 7 tahun, dan dipukul jika
tidak melakukannya pada usia 10 tahun.
Jika seorang
anak kecil sudah melaksanakan shalat, kemudian ia mencapai baligh di sisa waktu
shalat, maka ia wajib mengulang shalatnya menurut Malikiyah. Sedangkan menurut
Syafi’iyah, ia tidak perlu mengulang shalatnya.
4. Berhentinya Darah
Haidh atau Nifas
5. Masuk Waktu Shalat
6. Tidak Tidur
7. Tidak Lupa
8. Tidak Dipaksa Untuk
Tidak Thaharah.
Menurut ijma’, orang yang tidur,
lupa dan dipaksa wajib meng-qadha’ apa yang tertinggal.
9. Terdapat Air atau
Tanah yang Suci
Jika keduanya
tidak ada, ada yang berpendapat ia tetap harus shalat tanpa bersuci dan
kemudian ia harus meng-qadha’-nya. Ada juga yang berpendapat tidak
perlu meng-qadha’. Dan ada juga yang berpendapat ia tidak perlu shalat
dan harus meng-qadha’-nya.
D. Pembagian Jenis Thaharah
Kita
bisa membagi thaharah secara umum menjadi dua macam pembagian yang besar.
1. Thaharah Hakiki
Thaharah secara hakiki maksudnya adalah hal-hal yang
terkait dengan kebersihan badan, pakain dan tempat shalat dari najis. Boleh
dikatakan bahwa thaharah secara hakiki adalah terbebasnya seseorang dari najis.
Seorang yang shalat dengan memakai pakaian yang ada noda darah atau air
kencing, tidak sah shalatnya. Karena dia tidak terbebas dari ketidaksucian
secara hakiki.
Thaharah secara hakiki bisa didapat dengan menghilangkan
najis yang menempel, baik pada badan, pakaian atau tempat untuk melakukan
ibadah ritual. Caranya bermacam-macam tergantung level kenajisannya. Bila najis
itu ringan, cukup dengan memercikkan air saja, maka najis itu dianggap telah
lenyap. Bila najis itu berat, harus dicuci dengan air 7 kali dan salah satunya
dengan tanah. Bila najis itu pertengahan, disucikan dengan cara mencucinya
dengan air biasa, hingga hilang warna najisnya. Dan juga hilang bau najisnya.
Dan juga hilang rasa najisnya.
2. Thaharah Hukmi
Sedangkan thaharah secara hukmi
maksudnya adalah sucinya kita dari hadats, baik hadats kecil maupun
hadats besar (kondisi janabah). Thaharah secara hukmi tidak terlihat
kotornya secara pisik. Bahkan boleh jadi secara pisik tidak ada kotoran
pada diri kita. Namun tidak adanya kotoran yang menempel pada diri kita, belum
tentu dipandang bersih secara hukum. Bersih secara hukum adalah kesucian secara
ritual.
Seorang yang tertidur batal
wudhu`-nya, boleh jadi secara pisik tidak ada kotoran yang menimpanya. Namun
dia wajib berthaharah ulang dengan cara berwudhu` bila ingin melakukan
ibadah ritual tertentu seperti shalat, thawaf dan lainnya.
Demikian pula dengan orang yang keluar mani. Meski dia telah
mencuci maninya dengan bersih, lalu mengganti bajunya dengan yang baru, dia
tetap belum dikatakan suci dari hadats besar hingga selesai dari mandi janabah.
Jadi secara thaharah secara hukmi adalah kesucian secara
ritual, dimana secara pisik memang tidak ada kotoran yang menempel, namun seolah-olah
dirinya tidak suci untuk melakukan ritual ibadah.
Thaharah
secara hukmi dilakukan dengan berwudhu` atau mandi janabah.
E. Urgensi Kebersihan dan Perhatian
Islam Atasnya
1. Islam Adalah Agama Kebersihan
Perhatian Islam atas dua jenis kesucian itu -hakiki
dan maknawi- merupakan bukti otentik tentang konsistensi Islam atas
kesucian dan kebersihan. Dan bahwa Islam adalah peri hidup yang paling unggul
dalam urusan keindahan dan kebersihan.
2. Islam Memperhatian Pencegahan Penyakit
Termasuk juga bentuk perhatian serius atas masalah kesehatan
baik yang bersifat umum atau khusus. Serta pembentukan pisik dengan bentuk yang
terbaik dan penampilan yang terindah. Perhatian ini juga merupakan isyarat
kepada masyarakat untuk mencegah tersebarnya penyakit, kemalasan dan
keengganan.
Sebab wudhu` an mandi itu secara pisik terbukti bisa
menyegarkan tubuh, mengembalikan fitalitas dan membersihkan diri dari segala
macam kuman penyakit yang setiap sat bisa menyerang kondisi tubuh. Secara ilmu
kedokteran modern terbukti bahwa upaya yang paling efektif untuk mencegah
terjadinya wabah penyakit adalah dengan menjaga kebersihan. Dan seperti yang
sudah sering disebutkan bahwa mencegah itu jauh lebih baik dari mengobati.
3. Orang Yang Menjaga Kebersihan Dipuji Allah
Allah
SWT telah memuji orang-orang yang selalu menjaga kesucian di dalam Al-quran
Al-Kariem.
إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang taubat dan
orang-orang yang membersihan diri. (QS. Al-Baqarah : 222).
لَا
تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ
أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا
وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
Di dalamnya ada orang-orang yang suka membersihkan diri Dan
Allah menyukai orang yang membersihkan diri. (QS. An-Taubah : 108)
Sosok pribadi muslim sejati adalah orang yang bisa menjadi
teladan dan idola dalam arti yang positif di tengah manusia dalam hal kesucian
dan kebersihan. Baik kesucian zahir maupun maupun batin. Sebagaimana sabda
Rasulullah SAW kepada jamaah dari shahabatnya :
Kalian akan mendatangi saudaramu,
maka perbaguslah kedatanganmu dan perbaguslah penampilanmu. Sehingga sosokmu
bisa seperti tahi lalat di tengah manusia (menjadi pemanis). Sesungguhnya Allah
tidak menyukai hal yang kotor dan keji. (HR. Ahmad)
4. Kesucian Itu Sebagian Dari Iman
Rasulullah SAW telah menyatakan bahwa urusan kesucian itu
sangat terkait dengan nilai dan derajat keimanan seseorang. Bila urusan
kesucian ini bagus, maka imannya pun bagus. Dan sebaliknya, bila masalah
kesucian ini tidak diperhatikan, maka kulitas imannya sangat dipertaruhkan.
الطهور
شطر الإيمان
Kesucian
itu bagian dari Iman
(HR. Muslim)
5. Kesucian Adalah Syarat Ibadah
Selain menjadi bagian utuh dari keimanan seseorang, masalah
kesucian ini pun terkait erat dengan syah tidaknya ibadah seseorang. Tanpa
adanya kesucian, maka seberapa bagus dan banyaknya ibadah seseorang akan
menjadi ritual tanpa makna. Sebab tidak didasari dengan kesucian baik hakiki
maupun maknawi.
Rasulullah
SAW bersabda :
مِفْتَاحُ
الصَّلَاةِ الطَّهُورُ , وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ , وَتَحْلِيلُهَا
التَّسْلِيمُ : رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إلا النَّسَائِيّ , وَقَالَ
التِّرْمِذِيُّ : هَذَا أَصَحُّ شَيْءٍ فِي هَذَا الْبَابِ وَأَحْسَنُ
Dari Ali bin Thalib ra bahwa
Rasulullah SAW bersabda,`Kunci shalat itu adalah kesucian, yang mengharamkannya
adalah takbir dan menghalalkannya adalah salam`.(HR. Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah
dan hadits ini statusnya adalah hasan shahih).
1. WUDHU
PENGERTIAN WUDHU’,
Dari segi bahasa, wudhu’ ialah
nama bagi sesuatu perbuatan menggunakan air pada anggota-anggota tertentu.
Dari segi syara‘, wudhu’
bermaksud membersihkan sesuatu yang tertentu dengan beberapa perbuatan yang
tertentu yang dimulakan dengan niat, iaitu membasuh muka, membasuh kedua-dua
belah tangan, menyapu kepala dan akhirnya membasuh kedua belah kaki dengan
syarat-syarat dan rukun-rukun yang tertentu.
HUKUM WUDHU’
Hukum wudhu’ adalah seperti berikut:
1. Wajib atau fardhu, iaitu ketika hendak
menunaikan ibadah seperti sembahyang, sama ada sembahyang fardhu atau
sembahyang sunat, ketika hendak melakukan tawaf Ka‘bah sama ada tawaf fardhu
atau sunat, ketika hendak menyentuh Al-Qur’an dan sebagainya.
2. Sunat. Banyak perkara yang disunatkan
berwudhu’, antaranya ialah untuk membaca atau mendengar bacaan Al-Qur’an,
membaca atau mendengar bacaan hadith, membawa kitab tafsir, kitab hadith atau
kitab fiqh, melakukan azan, duduk di dalam masjid, melakukan tawaf di ‘Arafah,
melakukan sa‘i, menziarahi makam Rasulullah, ketika hendak tidur, mengusung
jenazah, malah disunatkan sentiasa berada dalam keadaan berwudhu’ dan
memperbaharui wudhu’.
HIKMAH WUDHU’
Hikmah berwudhu’ ialah kerana anggota-anggota
tersebut terdedah kepada kekotoran yang zahir seperti habuk, debu dan lain-lain
serta banyak terdedah dengan dosa dan maksiat sama ada zahir atau batin.
FARDHU WUDHU’
1. Berniat ketika meratakan air ke seluruh muka.
Niat wudu’ adalah seperti berikut:
Maksudnya:
“Sahaja aku mengangkat hadath kecil kerana Allah Ta‘ala”.
“Sahaja aku mengangkat hadath kecil kerana Allah Ta‘ala”.
2. Membasuh muka. Had atau
batasan muka yang wajib dibasuh adalah dari tempat tumbuh rambut di sebelah
atas sehingga sampai kedua tulang dagu sebelah bawah dan lintangannya adalah
dari anak telinga hingga ke anak telinga.
3. Membasuh dua tangan hingga dua siku. Bagi orang
yang tiada siku disunatkan membasuh hujung anggota yang ada.
4. Menyapu sedikit kepala. Boleh disapu di
ubun-ubun atau lain-lain bahagian rambut yang ada di dalam had atau kawasan
kepala, tetapi yang utamanya adalah menyapu seluruh kepala.
5. Membasuh dua kaki hingga dua buku lali.
6. Tertib, iaitu melakukan perbuatan itu daripada
yang pertama hingga akhir dengan teratur.
SYARAT-SYARAT WUDHU’
Terdapat dua syarat dalam wudhu’ iaitu syarat
wajib dan syarat sah.
Syarat Wajib Wudhu’
1. Islam.
2. Baligh.
3. Berakal.
4. Mampu menggunakan air yang suci dan mencukupi.
5. Berlakunya hadath.
6. Suci daripada haidh dan nifas.
7. Kesempitan waktu. Wudhu’ tidak diwajibkan
ketika waktu yang panjang tetapi diwajibkan ketika kesempitan waktu.
Syarat Sah Wudhu’
1. Meratakan air yang suci ke atas kulit, iaitu
perbuatan meratakan air pada seluruh anggota yang dibasuh hingga tiada bahagian
yang tertinggal.
2. Menghilangkan apa sahaja yang menghalang
sampainya air ke anggota wudhu’.
3. Tidak terdapat perkara-perkara yang boleh
membatalkan wudhu’ seperti darah haidh, nifas, air kencing dan seumpamanya.
4. Masuk waktu sembahyang bagi orang yang
berterusan dalam keadaan hadath seperti orang yang menghidap kencing tidak
lawas.
Selain itu, terdapat beberapa syarat wudhu’
mengikut ulama’ mazhab Syafi‘i, iaitu:
1. Islam.
2. Mumayyiz.
3. Suci daripada haidh dan nifas.
4. Bersih daripada apa sahaja yang boleh
menghalang sampainya air ke kulit.
5. Mengetahui kefardhuan wudhu’.
6. Tidak menganggap sesuatu yang fardhu di dalam wudhu’
sebagai sunat.
7. Menghilangkan najis ‘aini yang terdapat pada
badan dan pakaian orang yang berwudhu’.
8. Tidak terdapat pada anggota wudhu’ bahan yang
mengubahkan air.
9. Tidak mengaitkan (ta‘liq) niat berwudhu’ dengan
sesuatu.
10. Mengalirkan air ke atas anggota wudhu’.
11. Masuk waktu sembahyang bagi orang yang
berhadath berterusan.
12. Muwalat, iaitu berturutan.
SUNAT WUDHU’
Perkara sunat ketika berwudhu’ adalah sangat
banyak, di antaranya ialah:
1. Membaca “basmalah” iaitu lafaz
2. Membasuh dua tapak tangan hingga pergelangan
tangan.
3. Berkumur-kumur.
3. Berkumur-kumur.
4. Memasukkan air ke dalam hidung.
5. Menyapu seluruh kepala.
6. Menyapu dua telinga.
7. Menyelati janggut yang tebal.
8. Mendahulukan anggota yang kanan daripada yang
kiri.
9. Menyelati celah-celah anak jari tangan dan
kaki.
10. Melebihkan basuhan tangan dan kaki dari had
yang wajib.
11. Mengulangi perbuatan itu sebanyak tiga kali.
12. Berturut-turut iaitu tidak berselang dengan
perceraian yang lama di antara satu anggota dengan anggota yang lain yang
menyebabkan anggota itu kering.
13. Menggosok anggota wudhu’ supaya lebih bersih.
14. Bersugi dengan sesuatu yang kesat.
15. Menghadap qiblat.
16. Membaca doa selepas berwudhu’, iaitu:
Maksudnya:
“Aku bersaksi bahawa tiada Tuhan melainkan Allah yang Esa dan tiada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahawa Nabi Muhammad itu hambaNya dan RasulNya. Wahai Tuhanku, jadikan aku dari golongan orang-orang yang bertaubat dan jadikan aku dari golongan orang-orang yang bersih.”
“Aku bersaksi bahawa tiada Tuhan melainkan Allah yang Esa dan tiada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahawa Nabi Muhammad itu hambaNya dan RasulNya. Wahai Tuhanku, jadikan aku dari golongan orang-orang yang bertaubat dan jadikan aku dari golongan orang-orang yang bersih.”
PERKARA YANG MEMBATALKAN WUDHU’
1. Keluar sesuatu daripada lubang dubur atau qubul
sama ada tahi, kencing, darah, nanah, cacing, angin, air mazi atau air wadi dan
sebagainya melainkan air mani sendiri kerana apabila keluar mani diwajibkan
mandi.
2. Tidur yang tidak tetap punggungnya, kecuali
tidur dalam keadaan rapat kedua-dua papan punggung ke tempat duduk.
3. Hilang akal dengan sebab mabuk, gila, sakit,
pengsan atau pitam kerana apabila hilang akal, seseorang itu tidak mengetahui
keadaan dirinya.
4. Bersentuh kulit lelaki dengan perempuan yang
halal nikah atau ajnabiyyah (bukan mahram) walaupun telah mati.
5. Menyentuh kemaluan (qubul dan dubur manusia)
dengan perut tapak tangan walaupun kemaluan sendiri.
6. Murtad iaitu keluar dari agama Islam.
2. TAYAMMUM
PENGERTIAN
TAYAMMUM
- Tayammum ialah menyampaikan atau menyapu debu tanah ke
muka dan kedua-dua tangan dengan syarat yang tertentu. Tayammum dilakukan
bagi menggantikan wudhu’ atau mandi wajib (junub, haidh dan nifas), ketika
ketiadaan air atau uzur menggunakan air, dan ia adalah suatu rukhsah atau
keringanan yang diberikan oleh syara‘ kepada manusia.
- ·Disyari‘atkan tayammum berdasarkan firman Allah
subhanahu wata‘ala:
|
Maksudnya:
“Dan jika kamu junub (berhadath besar) maka bersucilah dengan mandi wajib; dan jika kamu sakit (tidak boleh kena air), atau dalam musafir, atau salah seorang dari kamu datang dari tempat buang air, atau kamu sentuh perempuan, sedang kamu tidak mendapat air (untuk berwudhu’ dan mandi), maka hendaklah kamu bertayammum dengan tanah – debu yang bersih.”
(Surah Al-Ma’idah, 5:6)
“Dan jika kamu junub (berhadath besar) maka bersucilah dengan mandi wajib; dan jika kamu sakit (tidak boleh kena air), atau dalam musafir, atau salah seorang dari kamu datang dari tempat buang air, atau kamu sentuh perempuan, sedang kamu tidak mendapat air (untuk berwudhu’ dan mandi), maka hendaklah kamu bertayammum dengan tanah – debu yang bersih.”
(Surah Al-Ma’idah, 5:6)
- Semua
ibadah atau amalan ta‘at yang perlu kepada bersuci (taharah) seperti
sembahyang, menyentuh mushaf, membaca Al-Qur’an, sujud tilawah dan
beri‘tikaf di dalam masjid adalah boleh bersuci dengan tayammum sebagai
ganti wudhu’ dan mandi, kerana amalan yang diharuskan taharah dengan air
adalah diharuskan juga dengan tayammum.
SEBAB YANG MEMBOLEHKAN TAYAMMUM
1. Ketiadaan air yang mencukupi untuk wudhu’ atau mandi.
2. Air yang ada hanya mencukupi untuk keperluan minuman
binatang yang dihalalkan, sekalipun keperluan itu pada masa akan datang.
3. Sakit yang jika terkena air boleh mengancam nyawa atau
anggota badan atau melambatkan sembuh.
SYARAT TAYAMMUM
1. Menggunakan debu tanah yang suci, tidak musta‘mal, tidak
bercampur benda lain.
2. Menyapu muka dan dua tangan dengan dua kali pindah.
3. Hilang najis terlebih dahulu.
4. Masuk waktu sembahyang.
5.
Bertayammum bagi setiap ibadat fardhu.
6. Ada
keuzuran seperti sakit atau ketiadaan air.
ANGGOTA TAYAMMUM
1. Muka.
2. Dua
belah tangan hingga siku.
RUKUN TAYAMMUM
1. Berniat
ketika menyapu debu tanah ke muka. Niat tayammum adalah seperti berikut:
Maksudnya:
“Sahaja aku bertayammum bagi mengharuskan solat kerana Allah Ta`ala.”
2. Menyapu
muka.
3. Menyapu
kedua-dua belah tangan.
4. Tertib.
SUNAT TAYAMMUM
1. Membaca
basmalah iaitu lafaz
2.
Mendahulukan menyapu tangan kanan dari yang kiri dan memulakan bahagian atas
dari bahagian bawah ketika menyapu muka.
3. Berturut-turut
di antara menyapu muka dan menyapu tangan.
PERKARA YANG MEMBATALKAN TAYAMMUM
1. Berlaku
sesuatu daripada perkara-perkara yang membatalkan wudhu’.
2. Melihat
air atau mendapat air sekiranya bertayammum kerana ketiadaan air.
3. Murtad
iaitu keluar dari agama Islam.
3. MANDI
PENGERTIAN
MANDI
- Dari segi bahasa, mandi bererti mengalirkan air ke
seluruh badan.
- Dari segi syara‘, mandi bermaksud mengalirkan air ke
seluruh badan dengan niat yang tertentu.
PERKARA YANG MEWAJIBKAN MANDI
1. Bertemu dua khitan iaitu apabila masuknya hasyafah zakar atau sekadar yang ada bagi zakar yang kudung ke dalam farj perempuan yang masih hidup dengan sempurna walaupun tidak keluar mani.
2. Keluar
mani walaupun sedikit dengan sengaja atau pun bermimpi.
3. Keluar
haidh, iaitu darah semulajadi yang keluar dari pangkal rahim ketika wanita
dalam keadaan sihat pada waktu yang tertentu.
4.
Melahirkan anak atau bersalin (wiladah).
5. Keluar
nifas, iaitu darah yang keluar selepas bersalin.
6. Mati,
kecuali mati syahid.
FARDU
MANDI
1. Berniat
pada permulaan kena air pada badan.
Bagi orang
yang berjunub niatnya ialah mengangkat janabah atau hadath besar. Niatnya
seperti berikut:
Maksudnya:
“Sahaja aku mandi junub kerana Allah Ta`ala”.
“Sahaja aku mandi junub kerana Allah Ta`ala”.
Bagi orang
yang datang haidh atau nifas niatnya ialah mengangkat hadath haidh atau nifas.
Niatnya adalah seperti berikut:
Maksudnya:
“Sahaja aku mandi daripada haid kerana Allah Ta`ala”.
“Sahaja aku mandi daripada haid kerana Allah Ta`ala”.
2.
Menghilangkan najis yang terdapat pada tubuh badan.
3.
Meratakan air ke seluruh badan terutama kulit, rambut dan bulu.
PERKARA SUNAT SEMASA MANDI
- Terdapat banyak perkara sunat semasa mandi, antaranya:
1. Membaca “basmalah” iaitu lafaz
2. Berwudhu’ sebelum mandi.
3. Membasuh dua tapak tangan.
4. Menggosok seluruh bahagian badan.
4. Menggosok seluruh bahagian badan.
5. Mendahulukan anggota tubuh yang
kanan daripada yang kiri.
6. Mengulangi membasuh anggota tubuh
sebanyak tiga kali.
7. Berturut-turut iaitu tidak
berlaku perceraian yang lama di antara membasuh sesuatu anggota dengan anggota
yang lain.
MANDI-MANDI SUNAT
- Mandi-mandi yang disunatkan adalah seperti berikut:
1. Mandi hari Juma‘at bagi orang
yang hendak pergi sembahyang Juma‘at. Waktunya dari naik fajar sadiq.
2. Mandi hari raya fitrah dan hari
raya adhha. Waktunya adalah mulai dari tengah malam pada hari raya itu.
3. Mandi kerana minta hujan
(istisqa’).
4. Mandi kerana gerhana bulan.
5. Mandi kerana gerhana matahari.
6. Mandi kerana memandikan mayat.
7. Mandi kerana masuk agama Islam.
8. Mandi orang gila selepas pulih
ingatannya.
9. Mandi orang yang pitam selepas
sedar dari pitamnya.
10. Mandi ketika hendak ihram.
11. Mandi kerana masuk Makkah.
12. Mandi kerana wuquf di ‘Arafah.
13. Mandi kerana bermalam di
Muzdalifah.
14. Mandi kerana melontar
jumrah-jumrah yang tiga di Mina.
15. Mandi kerana tawaf iaitu tawaf
qudum, tawaf ifadhah dan tawaf wida‘.
16. Mandi kerana sa‘i.
17. Mandi kerana masuk ke Madinah.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar