Rabu, 06 Juni 2012

Thaharah

A.    Pengertian Thaharah
Secara bahasa, thaharah berarti bersih dari kotoran, baik secara fisik seperti bersih dari air kencing, maupun secara maknawi seperti bersih dari maksiat.
Sedangkan secara syar’i, thaharah berarti ‘bersih dari najis, baik secara hakikat yaitu dari khabats (sesuatu yang dianggap kotor dan jijik menurut syara’), maupun secara hukum yaitu dari hadats (sesuatu yang menurut syara’ jika terdapat pada seseorang, ia akan kehilangan kesucian)’. Definisi ini diambil dari kalangan Hanafiyah.
An-Nawawi (dari kalangan Syafi’iyah) mendefinisikan thaharah dengan ‘mengangkat hadats dan menghilangkan najis, atau yang semakna dan memiliki sifat yang sama dengannya’. Definisi ini mencakup tayammum, mandi sunnah, memperbarui wudhu, pembasuhan yang kedua dan ketiga pada hadats dan najis, mengusap telinga, berkumur dan beberapa nafilah lainnya dalam thaharah, termasuk juga bersuci bagi wanita yang keluar darah penyakit dan orang yang tidak dapat menahan kencing.
Kalangan Malikiyah dan Hanabilah mendefinisikan thaharah dengan ‘menghilangkan sesuatu yang menyebabkan terhalangnya shalat, yaitu hadats dan najis dengan air, atau menghilangkan hukumnya dengan tanah’.
Dari definisi thaharah di atas, bisa dipahami bahwa thaharah terbagi menjadi dua macam, yaitu bersuci dari hadats (khusus badan) dan bersuci dari khabats (badan, pakaian dan tempat). Bersuci dari hadats terbagi tiga, yaitu (1) hadats besar, dengan mandi, (2) hadats kecil, dengan wudhu, (3) pengganti keduanya jika sangat sulit untuk mandi dan berwudhu, yaitu dengan tayammum. Bersuci dari khabats juga terbagi tiga, yaitu dengan membasuh (ghusl), mengusap (mas-h) dan memercikkan air (nadh-h).
Jadi, thaharah mencakup wudhu, mandi, menghilangkan najis, tayammum dan yang berhubungan dengannya.


B.     Urgensi Thaharah
Thaharah atau bersuci menduduki masalah penting dalam syari`ah Islam. Boleh dikatakan bahwa tanpa adanya thaharah, ibadah kita kepada Allah SWT tidak akan diterima. Sebab beberapa ibadah utama mensyaratkan thaharah secara mutlak. Tanpa thaharah, ibadah tidak sah. Bila ibadah tidak sah, maka tidak akan diterima Allah. Kalau tidak diterima Allah, maka konsekuensinya adalah kesia-siaan.
Thaharah sangat penting dalam Islam, baik thaharah secara hakikat yaitu mensucikan pakaian, badan dan tempat shalat dari najis, maupun secara hukum yaitu mensucikan anggota badan dari hadats, dan mensucikan seluruh tubuh dari janabah. Hal ini karena ia merupakan syarat untuk sahnya shalat yang dilakukan lima kali sehari, dan shalat adalah berdiri menghadap Allah ta’ala, melakukannya dalam keadaan suci merupakan sikap ta’zhim (pengagungan) kepada Allah.
Islam juga sangat menyukai kebersihan dan kesucian. Allah ta’ala memuji orang-orang yang bersuci:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
Artinya: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri.” [al-Baqarah ayat 222]
Hampir dalam setiap kitab fiqh, para fuqaha selalu menyimpan pembahasan thaharah sebagai sesuatu yang dibahas di awal BAB. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kebersihan atau kesucian dalam Islam. Selain dapat menjaga ummatnya dari berbagai penyakit, thaharah dalam Islam juga berperan sebagai syarat dari sahnya sebuah peribadahan. Seseorang tidak dapat beribadah saat ia memiliki hadats. Ia pun tidak dapat beribadah saat pakaian atau tempat yang akan dilaksanakannya peribadahan terkena najis. Karena urgensinya dalam menegakkan tiang-tiang diin ini, Rasulullah saw. bersabda tentang thaharah, “Ath-Thahuur (suci) itu sebagian daripada Iman.” Dalam al-Quran, Allah swt. menegaskan betapa pentingnya thaharah dalam Islam. Allah swt. berfirman.
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah, 2: 222)
“Dan pakaianmu bersihkanlah.” (QS. Al-Muddatstsir, 74: 4)
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams, 91: 9-10)
Allah juga berfirman tentang kewajiban berwudhu untuk membersihkan hadats kecil serta mandi untuk membersihkan hadats besar. “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka bersucilah.” (QS. Al-Maa’idah, 5: 6)
Artinya, tidak akan diterima setiap ibadah yang kita lakukan jika tidak dilakukan dalam kondisi badan yang suci dan bersih. Begitulah Islam mengajarkan sebuah sikap yang sangat menjaga kebersihan dan kesucian. Rasulullah, dalam sabdanya yang lain memberikan gambaran bahwa Allah swt. hanya menyukai yang baik-baik. “Sesungguhnya Allah itu thayyib dan tidak menerima sesuatu kecuali yang thayyib.” Sebagaimana sabdanya juga “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan.”
Kebersihan dan kesucian adalah hal yang thayyib yang akan menjadi syarat diterimanya segala sesuatu. Maka dari itu, tidak ada alasan bagi setiap mu’min untuk tidak menjaga kebersihan dan kesucian diri dan lingkungannya. Jika seorang mu’min tidak peduli terhadap kondisi lingkungannya, maka tentulah imannya belum sempurna sebagaimana seorang yang sedang shalat yang kemudian melupakan salah satu dari rukun shalat. Sudah tentu shalatnya tidak diterima. Jangan sampai, keimanan kita tidak diterima oleh Allah swt. dikarenakan kita lalai dalam menjaga kebersihan dan kesucian, baik diri maupun lingkungan kita.


C.    Syarat Wajib Thaharah

Diwajibkan membersihkan badan, pakaian, dan tempat jika terkena najis, berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
Artinya: “Dan pakaianmu bersihkanlah.” [al-Muddatstsir ayat 4]
أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِيْنَ وَالْعَاكِفِيْنَ وَالرُّكَّعِ السُّجُوْدِ
Artinya: “Bersihkanlah (wahai Ibrahim dan Isma’il) rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” [al-Baqarah ayat 125]
Jika membersihkan pakaian dan tempat diwajibkan, maka membersihkan badan tentu lebih utama.
Diwajibkan thaharah bagi orang yang diwajibkan shalat, dan itu ada 10 syarat, yaitu:
1. Islam
Ada juga yang mengatakan ‘sampainya dakwah’. Dalam hal ini, ada yang berpendapat orang kafir tidak diwajibkan, ada juga yang berpendapat tetap diwajibkan. Perbedaan pendapat ini lahir dari perbedaan pendapat yang lebih mendasar, yaitu tentang ‘diserunya orang-orang kafir untuk melaksanakan cabang-cabang syari’ah’.
Menurut pendapat mayoritas fuqaha, orang-orang kafir diseru untuk melaksanakan cabang-cabang ibadah, jadi mereka di akhirat akan dihukum dengan dua hukuman, yaitu hukuman karena tidak beriman dan hukuman karena meninggalkan cabang-cabang perintah agama. Sedangkan menurut Hanafiyah, orang-orang kafir tidak diseru untuk melaksanakan cabang-cabang syari’ah. Di akhirat, orang-orang kafir hanya akan dihukum karena tidak beriman, tidak karena meninggalkan cabang-cabang syari’ah.
Meskipun begitu, dua kelompok ini (mayoritas fuqaha dan Hanafiyah) sepakat bahwa pelaksanaan ibadah yang dilakukan orang kafir tidak sah selama mereka masih dalam kekafiran. Dan jika mereka masuk Islam, mereka tidak dituntut untuk meng-qadha’. Dan orang kafir tidak sah shalatnya menurut ijma’ (kesepakatan ulama).
Jika orang murtad kembali masuk Islam, menurut mayoritas fuqaha, ia tidak dituntut untuk meng-qadha’ shalat yang ditinggalkannya selama murtad. Sedangkan menurut Syafi’iyah, ia dituntut untuk meng-qadha’-nya.
2. Berakal
Tidak wajib thaharah bagi orang gila dan orang pingsan, kecuali mereka kembali sadar saat tiba waktu shalat. Sedangkan orang mabuk tidak gugur kewajiban thaharahnya.
3. Baligh
Tandanya ada 5, yaitu: (a) mimpi basah, (b) tumbuh rambut kemaluan, (c) haidh, (d) hamil, dan (e) mencapai usia baligh, yaitu 15 tahun, ada juga yang berpendapat 17 tahun, Abu Hanifah mengatakan 18 tahun. Tidak wajib thaharah bagi anak kecil, namun ia tetap diperintahkan untuk melakukannya pada usia 7 tahun, dan dipukul jika tidak melakukannya pada usia 10 tahun.
Jika seorang anak kecil sudah melaksanakan shalat, kemudian ia mencapai baligh di sisa waktu shalat, maka ia wajib mengulang shalatnya menurut Malikiyah. Sedangkan menurut Syafi’iyah, ia tidak perlu mengulang shalatnya.
4. Berhentinya Darah Haidh atau Nifas
5. Masuk Waktu Shalat
6. Tidak Tidur
7. Tidak Lupa
8. Tidak Dipaksa Untuk Tidak Thaharah.
Menurut ijma’, orang yang tidur, lupa dan dipaksa wajib meng-qadha’ apa yang tertinggal.
9. Terdapat Air atau Tanah yang Suci
Jika keduanya tidak ada, ada yang berpendapat ia tetap harus shalat tanpa bersuci dan kemudian ia harus meng-qadha’-nya. Ada juga yang berpendapat tidak perlu meng-qadha’. Dan ada juga yang berpendapat ia tidak perlu shalat dan harus meng-qadha’-nya.

D.    Pembagian Jenis Thaharah
Kita bisa membagi thaharah secara umum menjadi dua macam pembagian yang besar.
1. Thaharah Hakiki
Thaharah secara hakiki maksudnya adalah hal-hal yang terkait dengan kebersihan badan, pakain dan tempat shalat dari najis. Boleh dikatakan bahwa thaharah secara hakiki adalah terbebasnya seseorang dari najis. Seorang yang shalat dengan memakai pakaian yang ada noda darah atau air kencing, tidak sah shalatnya. Karena dia tidak terbebas dari ketidaksucian secara hakiki.
Thaharah secara hakiki bisa didapat dengan menghilangkan najis yang menempel, baik pada badan, pakaian atau tempat untuk melakukan ibadah ritual. Caranya bermacam-macam tergantung level kenajisannya. Bila najis itu ringan, cukup dengan memercikkan air saja, maka najis itu dianggap telah lenyap. Bila najis itu berat, harus dicuci dengan air 7 kali dan salah satunya dengan tanah. Bila najis itu pertengahan, disucikan dengan cara mencucinya dengan air biasa, hingga hilang warna najisnya. Dan juga hilang bau najisnya. Dan juga hilang rasa najisnya.
2. Thaharah Hukmi
Sedangkan thaharah secara hukmi maksudnya adalah sucinya kita dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar (kondisi janabah). Thaharah secara hukmi tidak terlihat kotornya secara pisik. Bahkan boleh jadi secara pisik tidak ada kotoran pada diri kita. Namun tidak adanya kotoran yang menempel pada diri kita, belum tentu dipandang bersih secara hukum. Bersih secara hukum adalah kesucian secara ritual.
Seorang yang tertidur batal wudhu`-nya, boleh jadi secara pisik tidak ada kotoran yang menimpanya. Namun dia wajib berthaharah ulang dengan cara berwudhu` bila ingin melakukan ibadah ritual tertentu seperti shalat, thawaf dan lainnya.
Demikian pula dengan orang yang keluar mani. Meski dia telah mencuci maninya dengan bersih, lalu mengganti bajunya dengan yang baru, dia tetap belum dikatakan suci dari hadats besar hingga selesai dari mandi janabah.
Jadi secara thaharah secara hukmi adalah kesucian secara ritual, dimana secara pisik memang tidak ada kotoran yang menempel, namun seolah-olah dirinya tidak suci untuk melakukan ritual ibadah.
Thaharah secara hukmi dilakukan dengan berwudhu` atau mandi janabah.
E. Urgensi Kebersihan dan Perhatian Islam Atasnya
1. Islam Adalah Agama Kebersihan
Perhatian Islam atas dua jenis kesucian itu -hakiki dan maknawi- merupakan bukti otentik tentang konsistensi Islam atas kesucian dan kebersihan. Dan bahwa Islam adalah peri hidup yang paling unggul dalam urusan keindahan dan kebersihan.
2. Islam Memperhatian Pencegahan Penyakit
Termasuk juga bentuk perhatian serius atas masalah kesehatan baik yang bersifat umum atau khusus. Serta pembentukan pisik dengan bentuk yang terbaik dan penampilan yang terindah. Perhatian ini juga merupakan isyarat kepada masyarakat untuk mencegah tersebarnya penyakit, kemalasan dan keengganan.
Sebab wudhu` an mandi itu secara pisik terbukti bisa menyegarkan tubuh, mengembalikan fitalitas dan membersihkan diri dari segala macam kuman penyakit yang setiap sat bisa menyerang kondisi tubuh. Secara ilmu kedokteran modern terbukti bahwa upaya yang paling efektif untuk mencegah terjadinya wabah penyakit adalah dengan menjaga kebersihan. Dan seperti yang sudah sering disebutkan bahwa mencegah itu jauh lebih baik dari mengobati.
3. Orang Yang Menjaga Kebersihan Dipuji Allah
Allah SWT telah memuji orang-orang yang selalu menjaga kesucian di dalam Al-quran Al-Kariem.
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang taubat dan orang-orang yang membersihan diri. (QS. Al-Baqarah : 222).
لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
Di dalamnya ada orang-orang yang suka membersihkan diri Dan Allah menyukai orang yang membersihkan diri. (QS. An-Taubah : 108)
Sosok pribadi muslim sejati adalah orang yang bisa menjadi teladan dan idola dalam arti yang positif di tengah manusia dalam hal kesucian dan kebersihan. Baik kesucian zahir maupun maupun batin. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada jamaah dari shahabatnya :
Kalian akan mendatangi saudaramu, maka perbaguslah kedatanganmu dan perbaguslah penampilanmu. Sehingga sosokmu bisa seperti tahi lalat di tengah manusia (menjadi pemanis). Sesungguhnya Allah tidak menyukai hal yang kotor dan keji. (HR. Ahmad)
4. Kesucian Itu Sebagian Dari Iman
Rasulullah SAW telah menyatakan bahwa urusan kesucian itu sangat terkait dengan nilai dan derajat keimanan seseorang. Bila urusan kesucian ini bagus, maka imannya pun bagus. Dan sebaliknya, bila masalah kesucian ini tidak diperhatikan, maka kulitas imannya sangat dipertaruhkan.
الطهور شطر الإيمان
Kesucian itu bagian dari Iman (HR. Muslim)
5. Kesucian Adalah Syarat Ibadah
Selain menjadi bagian utuh dari keimanan seseorang, masalah kesucian ini pun terkait erat dengan syah tidaknya ibadah seseorang. Tanpa adanya kesucian, maka seberapa bagus dan banyaknya ibadah seseorang akan menjadi ritual tanpa makna. Sebab tidak didasari dengan kesucian baik hakiki maupun maknawi.
Rasulullah SAW bersabda :
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطَّهُورُ , وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ , وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ  : رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إلا النَّسَائِيّ , وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ : هَذَا أَصَحُّ شَيْءٍ فِي هَذَا الْبَابِ وَأَحْسَنُ 
Dari Ali bin Thalib ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Kunci shalat itu adalah kesucian, yang mengharamkannya adalah takbir dan menghalalkannya adalah salam`.(HR. Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah dan hadits ini statusnya adalah hasan shahih).
1.      WUDHU
PENGERTIAN WUDHU’,
Dari segi bahasa, wudhu’ ialah nama bagi sesuatu perbuatan menggunakan air pada anggota-anggota tertentu.
Dari segi syara‘, wudhu’ bermaksud membersihkan sesuatu yang tertentu dengan beberapa perbuatan yang tertentu yang dimulakan dengan niat, iaitu membasuh muka, membasuh kedua-dua belah tangan, menyapu kepala dan akhirnya membasuh kedua belah kaki dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang tertentu.

HUKUM WUDHU’
Hukum wudhu’ adalah seperti berikut:
1. Wajib atau fardhu, iaitu ketika hendak menunaikan ibadah seperti sembahyang, sama ada sembahyang fardhu atau sembahyang sunat, ketika hendak melakukan tawaf Ka‘bah sama ada tawaf fardhu atau sunat, ketika hendak menyentuh Al-Qur’an dan sebagainya.
2. Sunat. Banyak perkara yang disunatkan berwudhu’, antaranya ialah untuk membaca atau mendengar bacaan Al-Qur’an, membaca atau mendengar bacaan hadith, membawa kitab tafsir, kitab hadith atau kitab fiqh, melakukan azan, duduk di dalam masjid, melakukan tawaf di ‘Arafah, melakukan sa‘i, menziarahi makam Rasulullah, ketika hendak tidur, mengusung jenazah, malah disunatkan sentiasa berada dalam keadaan berwudhu’ dan memperbaharui wudhu’.
HIKMAH WUDHU’
Hikmah berwudhu’ ialah kerana anggota-anggota tersebut terdedah kepada kekotoran yang zahir seperti habuk, debu dan lain-lain serta banyak terdedah dengan dosa dan maksiat sama ada zahir atau batin.
FARDHU WUDHU’
1. Berniat ketika meratakan air ke seluruh muka. Niat wudu’ adalah seperti berikut:

Maksudnya:
“Sahaja aku mengangkat hadath kecil kerana Allah Ta‘ala”.
2. Membasuh muka. Had atau batasan muka yang wajib dibasuh adalah dari tempat tumbuh rambut di sebelah atas sehingga sampai kedua tulang dagu sebelah bawah dan lintangannya adalah dari anak telinga hingga ke anak telinga.
3. Membasuh dua tangan hingga dua siku. Bagi orang yang tiada siku disunatkan membasuh hujung anggota yang ada.
4. Menyapu sedikit kepala. Boleh disapu di ubun-ubun atau lain-lain bahagian rambut yang ada di dalam had atau kawasan kepala, tetapi yang utamanya adalah menyapu seluruh kepala.
5. Membasuh dua kaki hingga dua buku lali.
6. Tertib, iaitu melakukan perbuatan itu daripada yang pertama hingga akhir dengan teratur.
SYARAT-SYARAT WUDHU’
Terdapat dua syarat dalam wudhu’ iaitu syarat wajib dan syarat sah.
Syarat Wajib Wudhu’
1. Islam.
2. Baligh.
3. Berakal.
4. Mampu menggunakan air yang suci dan mencukupi.
5. Berlakunya hadath.
6. Suci daripada haidh dan nifas.
7. Kesempitan waktu. Wudhu’ tidak diwajibkan ketika waktu yang panjang tetapi diwajibkan ketika kesempitan waktu.
Syarat Sah Wudhu’
1. Meratakan air yang suci ke atas kulit, iaitu perbuatan meratakan air pada seluruh anggota yang dibasuh hingga tiada bahagian yang tertinggal.
2. Menghilangkan apa sahaja yang menghalang sampainya air ke anggota wudhu’.
3. Tidak terdapat perkara-perkara yang boleh membatalkan wudhu’ seperti darah haidh, nifas, air kencing dan seumpamanya.
4. Masuk waktu sembahyang bagi orang yang berterusan dalam keadaan hadath seperti orang yang menghidap kencing tidak lawas.
Selain itu, terdapat beberapa syarat wudhu’ mengikut ulama’ mazhab Syafi‘i, iaitu:
1. Islam.
2. Mumayyiz.
3. Suci daripada haidh dan nifas.
4. Bersih daripada apa sahaja yang boleh menghalang sampainya air ke kulit.
5. Mengetahui kefardhuan wudhu’.
6. Tidak menganggap sesuatu yang fardhu di dalam wudhu’ sebagai sunat.
7. Menghilangkan najis ‘aini yang terdapat pada badan dan pakaian orang yang berwudhu’.
8. Tidak terdapat pada anggota wudhu’ bahan yang mengubahkan air.
9. Tidak mengaitkan (ta‘liq) niat berwudhu’ dengan sesuatu.
10. Mengalirkan air ke atas anggota wudhu’.
11. Masuk waktu sembahyang bagi orang yang berhadath berterusan.
12. Muwalat, iaitu berturutan.
SUNAT WUDHU’
Perkara sunat ketika berwudhu’ adalah sangat banyak, di antaranya ialah:
1. Membaca “basmalah” iaitu lafaz
2. Membasuh dua tapak tangan hingga pergelangan tangan.
3. Berkumur-kumur.
4. Memasukkan air ke dalam hidung.
5. Menyapu seluruh kepala.
6. Menyapu dua telinga.
7. Menyelati janggut yang tebal.
8. Mendahulukan anggota yang kanan daripada yang kiri.
9. Menyelati celah-celah anak jari tangan dan kaki.
10. Melebihkan basuhan tangan dan kaki dari had yang wajib.
11. Mengulangi perbuatan itu sebanyak tiga kali.
12. Berturut-turut iaitu tidak berselang dengan perceraian yang lama di antara satu anggota dengan anggota yang lain yang menyebabkan anggota itu kering.
13. Menggosok anggota wudhu’ supaya lebih bersih.
14. Bersugi dengan sesuatu yang kesat.
15. Menghadap qiblat.
16. Membaca doa selepas berwudhu’, iaitu:
Maksudnya:
“Aku bersaksi bahawa tiada Tuhan melainkan Allah yang Esa dan tiada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahawa Nabi Muhammad itu hambaNya dan RasulNya. Wahai Tuhanku, jadikan aku dari golongan orang-orang yang bertaubat dan jadikan aku dari golongan orang-orang yang bersih.”
PERKARA YANG MEMBATALKAN WUDHU’
1. Keluar sesuatu daripada lubang dubur atau qubul sama ada tahi, kencing, darah, nanah, cacing, angin, air mazi atau air wadi dan sebagainya melainkan air mani sendiri kerana apabila keluar mani diwajibkan mandi.
2. Tidur yang tidak tetap punggungnya, kecuali tidur dalam keadaan rapat kedua-dua papan punggung ke tempat duduk.
3. Hilang akal dengan sebab mabuk, gila, sakit, pengsan atau pitam kerana apabila hilang akal, seseorang itu tidak mengetahui keadaan dirinya.
4. Bersentuh kulit lelaki dengan perempuan yang halal nikah atau ajnabiyyah (bukan mahram) walaupun telah mati.
5. Menyentuh kemaluan (qubul dan dubur manusia) dengan perut tapak tangan walaupun kemaluan sendiri.
6. Murtad iaitu keluar dari agama Islam.
 2. TAYAMMUM
PENGERTIAN TAYAMMUM
  • Tayammum ialah menyampaikan atau menyapu debu tanah ke muka dan kedua-dua tangan dengan syarat yang tertentu. Tayammum dilakukan bagi menggantikan wudhu’ atau mandi wajib (junub, haidh dan nifas), ketika ketiadaan air atau uzur menggunakan air, dan ia adalah suatu rukhsah atau keringanan yang diberikan oleh syara‘ kepada manusia.
  • ·Disyari‘atkan tayammum berdasarkan firman Allah subhanahu wata‘ala:
005.006 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Maksudnya:
“Dan jika kamu junub (berhadath besar) maka bersucilah dengan mandi wajib; dan jika kamu sakit (tidak boleh kena air), atau dalam musafir, atau salah seorang dari kamu datang dari tempat buang air, atau kamu sentuh perempuan, sedang kamu tidak mendapat air (untuk berwudhu’ dan mandi), maka hendaklah kamu bertayammum dengan tanah – debu yang bersih.”
(Surah Al-Ma’idah, 5:6)
  • Semua ibadah atau amalan ta‘at yang perlu kepada bersuci (taharah) seperti sembahyang, menyentuh mushaf, membaca Al-Qur’an, sujud tilawah dan beri‘tikaf di dalam masjid adalah boleh bersuci dengan tayammum sebagai ganti wudhu’ dan mandi, kerana amalan yang diharuskan taharah dengan air adalah diharuskan juga dengan tayammum.

SEBAB YANG MEMBOLEHKAN TAYAMMUM
1. Ketiadaan air yang mencukupi untuk wudhu’ atau mandi.
2. Air yang ada hanya mencukupi untuk keperluan minuman binatang yang dihalalkan, sekalipun keperluan itu pada masa akan datang.
3. Sakit yang jika terkena air boleh mengancam nyawa atau anggota badan atau melambatkan sembuh.
SYARAT TAYAMMUM
1. Menggunakan debu tanah yang suci, tidak musta‘mal, tidak bercampur benda lain.
2. Menyapu muka dan dua tangan dengan dua kali pindah.
3. Hilang najis terlebih dahulu.
4. Masuk waktu sembahyang.
5. Bertayammum bagi setiap ibadat fardhu.
6. Ada keuzuran seperti sakit atau ketiadaan air.

ANGGOTA TAYAMMUM
1. Muka.
2. Dua belah tangan hingga siku.

RUKUN TAYAMMUM
1. Berniat ketika menyapu debu tanah ke muka. Niat tayammum adalah seperti berikut:

Maksudnya:
“Sahaja aku bertayammum bagi mengharuskan solat kerana Allah Ta`ala.”
2. Menyapu muka.
3. Menyapu kedua-dua belah tangan.
4. Tertib.

SUNAT TAYAMMUM
1. Membaca basmalah iaitu lafaz
2. Mendahulukan menyapu tangan kanan dari yang kiri dan memulakan bahagian atas dari bahagian bawah ketika menyapu muka.
3. Berturut-turut di antara menyapu muka dan menyapu tangan.

PERKARA YANG MEMBATALKAN TAYAMMUM
1. Berlaku sesuatu daripada perkara-perkara yang membatalkan wudhu’.
2. Melihat air atau mendapat air sekiranya bertayammum kerana ketiadaan air.
3. Murtad iaitu keluar dari agama Islam.
3. MANDI
PENGERTIAN MANDI
  • Dari segi bahasa, mandi bererti mengalirkan air ke seluruh badan.
  • Dari segi syara‘, mandi bermaksud mengalirkan air ke seluruh badan dengan niat yang tertentu.
PERKARA YANG MEWAJIBKAN MANDI

1. Bertemu dua khitan iaitu apabila masuknya hasyafah zakar atau sekadar yang ada bagi zakar yang kudung ke dalam farj perempuan yang masih hidup dengan sempurna walaupun tidak keluar mani.
2. Keluar mani walaupun sedikit dengan sengaja atau pun bermimpi.
3. Keluar haidh, iaitu darah semulajadi yang keluar dari pangkal rahim ketika wanita dalam keadaan sihat pada waktu yang tertentu.
4. Melahirkan anak atau bersalin (wiladah).
5. Keluar nifas, iaitu darah yang keluar selepas bersalin.
6. Mati, kecuali mati syahid.
FARDU MANDI
1. Berniat pada permulaan kena air pada badan.
Bagi orang yang berjunub niatnya ialah mengangkat janabah atau hadath besar. Niatnya seperti berikut:
Maksudnya:
“Sahaja aku mandi junub kerana Allah Ta`ala”.
Bagi orang yang datang haidh atau nifas niatnya ialah mengangkat hadath haidh atau nifas. Niatnya adalah seperti berikut:
Maksudnya:
“Sahaja aku mandi daripada haid kerana Allah Ta`ala”.
2. Menghilangkan najis yang terdapat pada tubuh badan.
3. Meratakan air ke seluruh badan terutama kulit, rambut dan bulu.

PERKARA SUNAT SEMASA MANDI
  • Terdapat banyak perkara sunat semasa mandi, antaranya:
1. Membaca “basmalah” iaitu lafaz
2. Berwudhu’ sebelum mandi.
3. Membasuh dua tapak tangan.

4. Menggosok seluruh bahagian badan.
5. Mendahulukan anggota tubuh yang kanan daripada yang kiri.
6. Mengulangi membasuh anggota tubuh sebanyak tiga kali.
7. Berturut-turut iaitu tidak berlaku perceraian yang lama di antara membasuh sesuatu anggota dengan anggota yang lain.
MANDI-MANDI SUNAT
  • Mandi-mandi yang disunatkan adalah seperti berikut:
1. Mandi hari Juma‘at bagi orang yang hendak pergi sembahyang Juma‘at. Waktunya dari naik fajar sadiq.
2. Mandi hari raya fitrah dan hari raya adhha. Waktunya adalah mulai dari tengah malam pada hari raya itu.
3. Mandi kerana minta hujan (istisqa’).
4. Mandi kerana gerhana bulan.
5. Mandi kerana gerhana matahari.
6. Mandi kerana memandikan mayat.
7. Mandi kerana masuk agama Islam.
8. Mandi orang gila selepas pulih ingatannya.
9. Mandi orang yang pitam selepas sedar dari pitamnya.
10. Mandi ketika hendak ihram.
11. Mandi kerana masuk Makkah.
12. Mandi kerana wuquf di ‘Arafah.
13. Mandi kerana bermalam di Muzdalifah.
14. Mandi kerana melontar jumrah-jumrah yang tiga di Mina.
15. Mandi kerana tawaf iaitu tawaf qudum, tawaf ifadhah dan tawaf wida‘.
16. Mandi kerana sa‘i.
17. Mandi kerana masuk ke Madinah.











DAFTAR PUSTAKA
Furqan Abu. 2012. Thaharah. http://abufurqan.com. Last udate 21 April 2012 pukul 18.17
Anonym. 2012. Thaharah. http://kampussyariah.com Last update 21 april 2012 pukul 20.19

Ayi Muhyidin. 2009. Kebersihan Dan Kesucian (Thaharah).  http://ayimuhyidin.blogspot.com. Last update 21 april 2012 pukul 20.21




Tidak ada komentar:

Posting Komentar